BOGOR – Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor mewujudkan salah satu amanah dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan menyelenggarakan Temu Penyuluh Pertanian PPPK yang dihadiri oleh seluruh alumni program Rekognisi Pembelajaran Lampau di Aula Kampus Cibalagung pada Selasa (17/10/2023).
Temu Penyuluh merupakan wadah silaturrahim dari penyuluh pertanian untuk membagi pengalaman dan bertukar pikiran, bekerja sama dalam rangka mencapai peningkatan produksi dan mewujudkan kedaulatan pangan.
Acara yang diselenggarakan secara hybrid ini juga dihadiri oleh Direktur Polbangtan/ PEPI seluruh Indonesia, dan juga Kepala Pusat Pendidikan Pertanian selaku moderator.
Perhelatan besar antar penyuluh pertanian ini turut mengundang Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi sebagai pemateri sekaligus berdiskusi dalam kuliah umum.
Sebagai pembuka, Dedi mengucapkan selamat kepada para penyuluh yang telah menyelesaikan pendidikan RPL di Polbangtan seluruh Indonesia. Dedi menyampaikan, bahwa program RPL ini sebetulnya sebagai amanat dari Permenpan RB no 20 tahun 2020. Dan itu yang harus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas para penyuluh didalam melaksanakan tugasnya.
Dalam arahannya, Dedi berulang kali menekankan kepada para penyuluh untuk dapat menggenjot daya saing produksi pertanian melalui tugas dan fungsi pokok penyuluh.
“Ingatlah tugas pokok dan fungsi kita. Kita bisa tanam kedelai tapi kenapa lebih dari 90% tahu tempe yang kita konsumsi adalah impor. Kita bisa tanam bawang putih, tapi kenapa yang kita konsumsi masih impor. Kita juga bisa pelihara sapi, tapi kenapa 90% daging sapi yang dikonsumsi masih impor dari australia?”, tanya Dedi kepada para penyuluh.
Dedi melanjutkan, bahwa kedelai yang yang diimpor memiliki harga 5.000 per kg. Sementara petani dalam negeri baru mendapatkan keuntungan jika kedelainya dijual seharga 7.500 per kg. Begitu juga dengan daging yang diimpor dengan harga 75.000 per kg. Sementara peternak kita baru mendapatkan keuntungan jika menjual harganya diatas 100.000 per kg.
“Kalau dalam dunia tinju, menghadapi selisih harga jualnya saja kita sudah KO”, tutur Dedi.
Dedi menjelaskan bahwa Indonesia masih kalah dalam hal produktivitas produksi hasil panen. “Produktivitas kedelai nasional kita rata2 1-1,5 ton per hektar. Sementara di luar negeri bisa sampai 3,8 ton per hektar. Selisihnya saja jauh. Daya saing produk pertanian kita terpuruk. Kita melihat buah dan sayur bertebaran disupermarket. Sekarang sudah didominasi oleh impor. Disitulah permasalahan kita. Daya saingnya keok”, ujar Dedi.
Menurutnya, pembangunan pertanian tidak lain dan tidak bukan adalah untuk meningkatkan daya saing produk pertanian. Kalau produk pertaniannya berdaya saing berarti petaninya juga harus berdaya saing. Dan jika petaninya dituntut untuk bisa berdaya saing, berarti penyuluhnya juga harus berdaya saing. “Tidak mungkin jika penyuluhnya biasa saja, namun bisa menghasilkan petani yang berdaya saing, itu mimpi”, imbuh Dedi.
Pembangunan pertanian wajib diawali dari penyuluhnya yang berdaya saing. Program pendidikan Rekognisi Pembelajaran Lampau adalah salah satu cara untuk menggenjot kemampuan para penyuluh agar dapat menjadi penyuluh yang profesional dan menguasai substansi dari permasalahan di lapangan. Penyuluh yang dapat memberi solusi kepada petani dalan segala hal dan kondisi.
Dedi juga menghimbau kepada para penyuluh untuk dapat mengawal petani supaya bijak dalam penggunakan pupuk berimbang, menggunakan bibit dan benih yang berkualitas, serta memperhatikan nutrisi tanaman/ pakan ternak untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Terakhir Dedi menekankan poin penting yang harus selalu diingat oleh para penyuluh dalam membuat produksi pertanian memiliki daya saing, yaitu genjot daya saing produk pertanian kita.
“Caranya? Genjot produktivitasnya, perbaiki kualitasnya, tekan ongkos produksinya dengan mengimplementasikan teknologi IoT”.tandas Dedi.
Penulis artikel: Ardianinda Wisda